Pages

Senin, 06 Juni 2011

My Boy's Too Popular



                Aku menangis tersedu di kamar. Di atas sebuah bantal berbentuk hati berwarna pink lembut pemberian Jonathan, pacar.. eum… mantan pacarku. Ia memberinya saat ulang tahunku yang ke 15. Dan sekarang aku menangis karenanya. Yeah, aku menangis karena seorang cowok yang sudah 2 tahun ini menjadi kekasihku.
                Aku putus dengannya. Sebenarnya terpaksa sekali aku ingin berpisah darinya, karena aku masih sangat mencintainya. Jonathan, atau simplenya Jo, adalah seorang artis muda yang namanya sedang naik daun. Ia banyak mendapat tawaran iklan dan film layar lebar, bahkan ku dengar saat ini ia ditawari untuk bermain dalam sinetron stripping.
                Aku merasa ia berubah. Well, bukan sepenuhnya salahnya. Aku memutuskannya karena para fans fanatiknya itu. Aku tidak sanggup lagi jika harus mendapat telepon misterius, atau kejadian janggal lagi, bahkan surat botol berantai yang berisi ancaman dan hinaan untukku. Sudah cukup.
                Tiga tahun yang lalu, aku kenal dengan Jo di perpustakaan kota. Saat itu aku sedang menekuni novel remaja ketika Jo menghampiriku dan bertanya letak buku sains yang memang terletak berlawanan arah dengan tempatku berada. Buku sains ada di lantai dua, sedangkan lantai tiga ini hanya berisi buku-buku fiksi. Saat itu dia polos sekali sambil menggaruk-garuk kepalanya. Ia kemudian beralih menuju lantai dua dan kembali ke lantai tiga sambil membawa beberapa buku sains. Jo meletakkan buku-buku itu ke mejaku dan tersenyum. Aku memandang heran wajahnya dengan tatapan maksudnya-apa-ini-?.
                Jo menjulurkan tangannya, “Hai, aku Jo. Namamu siapa?”
                Aku membalas uluran tangannya dan memperkenalkan namaku. Ia meminta aku mempersilakannya untuk duduk di sampingku. Aku mengangguk. Setelah selesai membaca novel, aku menuruni tangga dan bersiap pergi. Jo menawariku untuk mengantarku pulang. Sesaat aku ragu apakah harus menerimanya, karena  aku dan dia baru saja berkenalan. Dia berkata cepat dan berjanji tidak akan berbuat macam-macam kepadaku.
                Aku tersenyum mendengar penuturannya itu. Aku mengikutinya. Ia menwarkan untuk pergi ke kafe dekat perpustakaan dan aku membolehkannya. Kami duduk di dekat jendela. Jo orang yang menyenangkan. Ia pandai membuat orang merasa nyaman ketika berada di sampingnya. Kami pun saling bertukar cerita. Di penghujung waktu, aku harus pamit karena harus mengikuti les bahasa asing. Sebelumnya kami bertukar nomor telepon dan email.
                Setelah pertemuan pertama kami itu, kami sering janjian bertemu di perpustakaan atau di kafe biasa. Hampir satu tahun kami kenal, Jo mengajakku pergi ke sebuah restoran. Aku bertanya mengapa ia mengajakku ke restoran, bukan kafe tempat biasa. Jujur, saat itu aku sangat kaget dan senang sekali. Yeah, aku memang mulai menyukai sosok Jo. Dan syukurlah, perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan. Di restoran itu dia menyatakan cintanya padaku. Dengan sebuket bunga dan sebuah boneka beruang mini, ia benar-benar mencuri hatiku. Sejak saat itu kami jadian.
                Selang satu setengah tahun, ia memberitahuku akan mengikuti sebuah casting yang mencari bintang iklan laki-laki. Aku membolehkannya. Saat ia diterima casting, Jo langsung mengajakku untuk pergi ke Disneyland. Aku senang sekali. Kami mencoa beberapa permainan dan membeli gula-gula di sana.
                Sebulan berikutnya, ia ditawari untuk bermain film layar lebar sebagai peran pembantu. Aku pun membolehkannya. Aku juga datang ke studio untuk memberinya kue dan segelas teh, untuk menyemangatinya. Rupanya di sana telah berkumpul fans Jo yang ternyata sudah banyak dan… uhm.. kebanyakan dari mereka perempuan. Ada yang memintanya berpoto bersama, minta tanda tangan, dan … WHAT! Mencubit dan mengecup pipi Jo dengan gampangnya. Aku melotot meliha hal itu.
                Aku langsung pamit ingin pulang, padahal Jo baru saja ingin memintaku untuk melihat aksinya. Aku minta maaf padanya dan mengatakan aku sedang tidak enak badan. Jo panik namun aku meyakinkannya jika aku akan selamat sampai rumah. Di luar, aku bertemu dengan seorang gadis cantik, langsing dan tinggi. Sepertinya salah satu pemeran film juga. Dari wajahnya, ia terlihat jutek. Ia bertanya padaku ada hubungan apa aku dengan Jo. Dan dengan lancarnya aku bilang aku adalah kekasih Jo. Ia tertawa, mengejek. Ia malah mengataiku kalau aku tidak pantas sama sekali untuk Jo. Seorang kutu buku mempunyai kekasih seorang bintang yang tampan. Aku kesal. Aku langsung berlari pulang.
                Malamnya, Jo tidak sekaipun menghubungiku. Tidak menelepon ataupun mengirim SMS. Aku makin kesal. Esoknya ia berada di depan rumahku. Hari itu hujan dan Jo terlihat benar-benar basah. Aku mempersilakannya masuk dan memberinya pakaian hangat milik Edward, kakakku. Ia meminta maaf karena kemarin tidak mengantarku pulang, juga tidak memberi kabar sama sekali malamnya. Sangat sibuk, katanya. Aku memakluminya.
                Aku mengajaknya pergi ke perpustakaan besok, namun ia harus menyelesaikan filmnya. Aku kecewa, namun ia mengatakan aku boleh melihatnya. Aku juga bercerita bagaimana kesal dan cemburunya aku melihatnya dengan para fansnya. Ia tertawa kecil dan meminta maaf. Jo mengatakan jika para fans memang kadang terlalu over. Selama belum ada yang mencium bibir, tidak masalah kan, ucapnya. Aku tertunduk. Jo mulau berubah, pikirku.
                Melihat gelagatku yang aneh, ia mengecup pipiku dan memelukku. Ia mengatakan kalau ia tidak akan pernah berpaling ke gadis manapun. Hatinya telah terpaut padaku. Wajahku bersemu. Detik selanjutnya, aku merasakan bibirnya menempel di bibirku. Tidak lama, karena setelahnya telepon genggamnya berdering dan mengatakan ia harus segera tiba ke lokasi syuting. Aku melepasnya. Ia berganti pakaian dan langsung pergi setelah pamit denganku.
                Malamnya, aku mendapat telepon misterius. Suaranya serak sehingga aku tidak mengenal suara milik perempuan atau laki-laki. Yang jelas, ia berkata bahwa aku harus menjauhi Jo. Jika tidak, maka aku akan menyesal karena Jo mempunyai rahasia yang pasti akan membuatku menderita. Aku langsung membanting gagang telepon itu.
                Esoknya aku pergi ke studio untuk melihat peran akting Jo. Ia tak mengetahui aku akan datang. Rencananya aku akan memberinya surprise. Tapi ternyata, dialah yang sebenarnya memberiku surprise lewat adegannya di film. Tampak jelas di mataku, bibir Jo menempel di bibir seorang gadisyang kutemui kemarin! Jo tampak sangat menikmatinya. Aku shock. Tak lama, sang sutradara berseru”CUT!”. Ia sepertinya senang dengan adegan tadi. Aku berdiri mematung di balik kamera di sudut ruangan. Tasku jatuh dan menimbulkan suara yang lumayan berisik. Seluruh ruangan menatapku, include Jo. Dari air mukanya terlihat ia sangat kaget. Ia mendatangiku dan berusaha memberikan penjelasan, namun ku tepis dengan kasar.
                Aku memakinya dan pergi meninggalkannya. Ia berteriak ke arahku, aku mengabaikannya. Aku sakit, sakit hati. Sesampainya di rumah, aku mendapati sebuah botol minuman kosong. Di dalamnya terdapat sepucuk surat. Aku mengeluarkannya. Tercekat aku membacanya.
"KAU SAMA SEKALI BUKAN ORANG YANG PANTAS MENDAMPINGI JO!"
                Keesokan harinya, beberapa perempuan berada di depan pagar rumahku saat aku baru saja keluar dari rumah dan ingin pergi ke perpustakaan kota. Beberapa dari mereka membicarakan sesuatu, ada yang menatapku sinis. Sekilas aku dengar mereka membicarakan Jo. Kemudian salah satu dari mereka menghampiriku. Ia mengatakan bahwa aku sama sekali tidak serasi dengan Jo. Jo sangat sempurna tidak mungkin mau denganku yang hanya kutu buku.
                Aku bergegas pergi ke perpustakaan. Tidak tahan dengan semua hinaan mereka. Aku sedih. Di perpustakaan aku memilih duduk di pojok ruangan dan menghadap dinding. Aku menangis di sana. Bacaan yang aku pegang juga tak satu kata pun masuk di otakku. Aku kembali membuka surat botol yang memang ku bawa di dalam tasku. Semuanya karena Jo. Aku tidak sangup lagi bila aku harus menghadapi semua cobaan ini. Mungkin yang mereka katakana benar. AkuRegina Athalya, tidak pantas mendapat seorang kekasih seperti Jonathan. Ia terlalu sempurna. Seorang artis tidak akan pernah cocok dengan seorang kutu buku.
                Seseorang dari belakang mengambil kertas yang aku pegang. Jo.
                “Rupanya kamu di sini? Aku tadi mencarimu di rumah. Katanya kau pergi ke perpustakaan,” ucapnya. Ia membaca surat itu. Raut wajahnya tegang. Aku mengambilnya kembali. Dan mengatakan pada Jo, ku akhiri hubungan kami dengan alasan yang cukup kuat. Setelah itu aku berlari meninggalkan Jo yang berdiri mematung.
                Seharian ini aku menangis di kamar. Mengingat semua kenangan bersama Jo. Sarapan yang berada di hadapanku puntak kuhabiskan, padahal itu adalah makanan favoritku. Aku beranjak menuju layar televisi dan menyetel sebuah acara reality show. Mataku terpaut pada seseorang di sana. Jonathan Earst.
                “… Aku bukan orang yang sempurna. Karena tanpa kehadiranmu, jiwaku tak akan pernah utuh. Maaf kalau selama ini aku membuatmu sedih dan sakit hati. Aku pikir, dengan aku menjadi seperti aku yang sekarang ini, kau akan selalu melihatku saat aku tak bisa menemanimu. Semuanya sudah aku ketahui dan aku sudah memberitahu mereka bahwa kau akan tetap selalu menjadi kekasihku. Aku tidak peduli apakah kau seorang kutu buku sekali pun. Bagiku, kau tetap menjadi Regina Athalya, Regina yang aku cintai sampai kapan pun. Kalau kau mendengar dan melihat tayangan ini, aku ingin kamu keluar dari rumahmu dan sambutlah aku di luar…”
                Jo menyatakan cintanya di televisi!!! Dan.. hei! Latar belakang itu seperti aku kenal. That’s my home! Aku segera membuka pintu dan ku dapati Jo berada di saa memegang sebuah mikropon sedang disorot oleh beberapa kamera. Aku tercengang. Ku lirik lagi di tivi, siaran langsung! Jadi rumahku sedang ditonton oleh khalayak ramai?
                “Regina Athalya, aku tidak sanggup berpisah terlalu lama darimu. Aku tidak mau kehilangan dirimu lagi. Jadi untuk detik ini juga, maukah kau kembali ke dalam pelukanku? Aku janji aku akan selalu membahagiakanmu,” tutup Jo.
                Aku terharu. Kemudian berlari menuju ke tempat Jo berada. Memeluknya seerat mungkin. Seorang narator kemudian bercuap-cuap di mikropon untuk menutup acara. Samar ku dengar ia menyebutkan ‘happy ending’. Aku bahagia sekali. Jo memang sempurna di mataku. Ia sangat romantis.
                Aku menyadari sesuatu. Cinta akan selalu ada. Sebanyak apapun rintangan, jika kita mau berusaha untuk menghadapinya maka ia akan berakhir dengan indah. Selanjutnya, jo semakin terkenal dengan tayangan realty show ini. Namun ia sangat meminta maaf karena ia harus meninggalkan perannyaseluruh perannya di dunia akting dan menjadi Jo yang biasa saja. Aku menangis saat itu. Ia melakukannya untukku?
                Satu bulan kemudian, Jo kembali menjalani rutinitasnya yang lama. Ia melanjutkan studinya di universitas. Fans fanatik Jo memang masih ada, walaupun ia bukan sebagai artis lagi. Aku tidak keberatan jika mereka belum rela sosok Jo hilang dari layar kaca. Karena nanti pasti ada saatnya semua itu berakhir. Dan tebak! Setiap hari, kami menghabiskan waku di perpustakaan dan kafe biasa. Aku senang, Jo sekarang kembali menjadi Jo-ku yang dulu. Karena ia akan selalu ada untukku.
                I love you, Jo…

My Indonesian Open

“Wah, serius?” ucap Aya tak percaya dengan apa yang diberitahukan oleh Novi, teman kelasnya.
“Beneran! Rumahku kan deket dari situ. Terus, temennya kakakku kan juga suka bulu tangkis. Jadi dia tahu kalo ada Indonesia Open di GOR,” jawab Novi.
            “Aku mau nontoooon,” ucap Aya memelas, “tapi tiket masuknya berapa?”
            “Nah, kalo masalah itu, nanti aku tanyain lagi deh.”
            “Oke, tanyain secepatnya, ya? Kalo sudah tau, langsung kasih kabar. Oke?” Aya sangat antusias mendengar penyelenggaraan pertandingan bulu tangkis kelas dunia diadakan di kotanya, Samarinda. Memang, sudah tahun 2007 yang lalu GOR utama Kalimantan Timur itu berdiri. Tempatnya juga sudah digunakan untuk penyelenggaraan PON XVII. Tapi berhubung tempatnya di Palaran yang notabene jauh dari tempat tinggal Aya, ia belum pernah pergi ke sana. Alasannya hanya satu: Papa Aya tidak mengizinkan putrinya pergi ke sana. Alasannya sih sama kayak orang tua kuno yang lain. Terlalu jauh lah, karena cewek lah, takut ada apa-apa lah, dan beribu macam lagi alasan kalo ditanya.
            Kalo untuk PON XVII, okelah Aya nggak datang. Karena selain jauh, panas, masuk ke dalam GOR juga dibilang lumayan jauh lagi, Aya nggak begitu berminat menonton PON. Nggak penting. Tapi sekarang beda. Tahun ini beda! Di GOR mulai tanggal 12 samapi 17 Oktober 2010 ada perhelatan bulu tangkis tingkat dunia! Nggak cuma pemain dari Indonesia aja yang datang, tapi juga dari Cina, Korea, dan kawan-kawan. Para pemainnya juga terkenal. Bisa dibilang Taufik Hidayat, Sony Dwi Kuncoro, Lin Dan, Bao Chun Lai, dan kawan-kawan (lagi).
            Aya berpendapat, cuma penggila bulu tangkis yang bodoh aja yang melewatkan menonton sang idola bertarung demi memperebutkan gelar juara. Melewatkan smash-smash cantik yang diperagakan oleh Simon Santoso, idolanya, juga tidak melihat langsung orangnya.
            Pulang sekolah, ia langsung duduk di depan meja komputer. Connecting ke internet. Mencari-cari informasi di dunia maya. Ia mulai membuka situs jejaring Yahoo! Koprol, facebook dan lain-lain. Salah satu kenalannya di sekolah memberi tahunya tentang harga tiketnya. Katanya sih 250 ribu untuk awal hingga hari akhir pertandingan. Lumayan murah, pikir Aya.
            Otaknya mulai berpikir lagi, kalo ia memesan tiket penuh, tapi pulang sekolah jam 4. Dihitung-hitung rugi juga mengeluarkannya. Apalagi bulan ini bisa dibilang Aya sangat boros. Uang yang harusnya untuk sebulan saja sudah habis setengahnya, padahal belum pertengahan bulan. Jadi ia memutuskan untuk membeli yang per hari saja. Dicarinya uang di dalam selipan baju, di lemari, sampai  di kolong tempat tidur, berharap menemukan selembar uang ribuan, atau lebih bagus puluh ribuan.
            Yang ia tahu, harga tiketnya lima puluh ribu. Tapi saat semi final dan final, harganya naik menjadi 100 ribu. Aya sih masih mau menghemat uangnya. Jadi ia memutuskan untuk menonton hari pertama sampai hari ke empat. Hatinya benar-benar senang. Akhirnya hari itu akan segera tiba. Hari di mana ia akan bertemu idolanya secara langsung. Bertemu Simon Santoso secara langsung!
***
            Aya lelah. Baru saja ia pulang dari sekolah. Tugas dari guru bahasa Inggris memang tidak begitu susah, karena ia bisa dibilang pintar dalam bahasa internasional itu. Tapi masalahnya, tugas itu harus dikumpulkan di ruang guru di lantai 2, dan entah kenapa jadi Aya yang membawa. Padahal ada Rizky, ketua kelas yang sebenarnya lebih punya tanggung jawab untuk membawa 40 buku itu ke ruang guru. Belum lagi cuaca hari ini sangat panas. Aya berbaring di kasurnya. Menerawang ke sebuah gedung olah raga. Hari ini hari pertama pertandingannya dimulai. Bagaimana jalannya pertandingan? Siapa saja hari ini dari Indonesia yang bertanding? Melawan siapa? Apa Simon hari ini juga bertanding? Bagaimana skornya? Berbagai macam pertanyaan muncul di benak Aya.
            Aya ingin sekali pergi ke sana, tapi kaki Aya tidak sepaham dengan hatinya. Kakinya lelah sekali. Ia berharap, mungkin besok ada kesempatan. Semoga.
***
            “Payah, payah, payah!!!” maki Aya di kamar. Ia menelungkupkan kepalanya di bantal. Menangis sesenggukan. Hari ini hari ke tiga pertandingan Indonesia Open. Awalnya Aya seneeeeeng banget, orang tuanya mau ikut untuk menonton pertandingan. Akhirnya sore tadi Aya pergi sekeluarga ke GOR. Jalanan macet. Di Jembatan Mahakam pun banyak kendaraan yang ngantri. Akhirnya papa Aya memutuskan untuk melewati jembatan Mahulu. Aya sih menurut saja, karena ia tidak benar-benar hapal jalan mana yang tercepat. Perjalanan menghabiskan waktu kurang lebih satu jam, itu sudah ditambah macet.
            Aya sampai di GOR jam 7 kurang. Saat di loket, Aya yang tadinya dengan semangat ’45 langsung kendor. Dengan jelas terpampang di sana sebuah tulisan dengan 5 huruf berbahasa inggrisCLOSE. Hati Aya sudah sesak saat itu. Itu berarti, tiketnya sudah habis. Saat papa Aya bertanya pada salah seorang satpam di sana, ia mengatakan bahwa pertandingan memang sudah selesai. Lengkaplah sudah!
            Rasanya Aya ingin teriak, memaki-maki, dan lain-lain. Ia sangat kesal. Belum lagi papanya yang menceramahinya panjang lebar karena Aya melipat mukanya berjuta lipatan. Aya kesal. Di perjalanan pulang, tanpa suara air matanya menetes. Hilang sudah kesempatannya untuk melihat langsung Simon Santoso.
            Aya menangis di kamarnya. Masih tanpa suara, namun bahunya berguncang. Rasanya pedih sekali. Saat ia berangkat dengan hati yang penuh semangat, tak tahunya, hanya sia-sia ia datang karena  pertandingannya usai. Bukan itu saja yang membuatnya sakit hati. Seorang ayah yang menurutnya harus kembali membangkitkan semangat anaknyayah, paling tidak membelikan boneka mascot Indonesia Open di pamerannya sebagai gantimalah menceramahinya panjang lebar. What a suck dad! makinya.
***
            Matanya lumayan sembab gara-gara menangis semalam. Tapi ia berhasil menutupinya dengan make up. Nggak sia-sia belajar make up dari mbak Yun, salah seorang keluarganya yang bekerja di salah satu salon terkenal di Jakarta. Temannya mungkin bisa dibohongi dengan make up, tapi Fatur, pacar Aya, tidak bisa tertipu. Fatur sudah mengenal Aya 5 tahun dan sudah 3 tahun mereka pacaran, jadi dandanan apapun, Fatur masih bisa melihat dengan jelas mata Aya yang masih agak sembab.
            “Mata kamu kenapa? Abis nangis?” tanyanya saat menjemput Aya. Yang ditanya malah menggeleng.
            “Udah nggak usah boong lah,” ucap Fatur lagi.
            “Nanti aja di rumah aku ceritain,” jawab Aya malas.
            Di perjalanan, mereka tak banyak bercerita seperti biasa. Bahkan sampai rumah pun, Aya lupa untuk mempersilakan Fatur masuk. Yah, walaupun sebenarnya tanpa disuruh pun Fatur pasti akan tetap mengikuti langkah Aya ke dalam rumah.
            “Sekarang cerita deh,” ucap Fatur saat mereka telah duduk di ruang tamu. Aya menaruh tas selempangnya sembarang. Dari awal Aya menceritakan bagaimana dengan semangat ’45-nya bersiap-siap untuk menonton pertandingan bulu tangkis yang sudah digemarinya sejak kecil itu. Sampai saat semangat ’45-nya padam saat ia sampai di sana ternyata pertandingannya telah usai. Dah, hei! Air mata juga mengalir menghias pipinya. Fatur terkejut melihatnya. Tidak biasanya gadis yang dicintainya itu menangis di depannya. Biasanya ia selalu terlihat tegar dalam menghadapi persoalan apapun. Tapi tidak saat ini. Di depannya tak lain hanyalah seorang cewek yang menangis karena gagal melihat pertandingan bulu tangkis.
            Fatur memang sudah tahu tentang kecintaan Aya tentang bulu tangkis. Jadi ia masih bisa sedikit maklum jika Aya menangis gara-gara ini. Ia kemudian membelai rambut Aya dengan sayang. Berusaha menenangkan sesengukannya.
            “Gimana kalo kita ke sana bareng? Minggu lalu kan kita nggak ada kencan sama sekali?” tawar Fatur. Aya berpikir sejenak. Benar juga, minggu lalu, Fatur memang sama sekali tidak bisa mengajak Aya jalan-jalan. Ia sibuk dengan kerjaannya. Hari sabtu ia harus lembur karena banyak tugas yang menumpuk, jadi Fatur nggak bisa ngapel malam Minggu ke rumah Aya. Dan hari Minggunya, Fatur nggak bisa ngajak Aya jalan, karena doi tiba-tiba ada acara keluarga yang penting. Entahlah, Aya nggak nanya lebih jauh karena ia juga lagi kecapekan.
            “Makasih, Mas. Tapi nggak deh. Nggak untuk situasi perasaanku lagi gini,” jawab Aya.
            Fatur memakluminya. Aya memang selalu seperti itu saat sedang marah. Emosinya masih belum bisa terkontrol. Tapi dengan usia Fatur yang berada 7 tahun di atas Aya, cowok itu lebih bisa memahami Aya.
***
            Aya mulai berkutat dengan komputer dengan koneksi internet di kamarnya. Mulai mengetikkan beberapa kata di pencarian Google.  Munculah beberapa data yang ia cari. Indonesia Open GrandPrix Gold. Ia mencari sebuah nama, Simon Santoso. Klik!
            Hatinya merasa lebih ringan sedikit. Ternyata Simon tidak ambil bagian dalam pertandingan itu. Menurut berita, Simon masih dalam upaya pemulihan dari cedera pinggang saat di kejuaraan dunia. Karenanya ia harus mundur dari babak 32 besar kejuaraan dunia di Paris bulan lalu. Aya mendesah. Entahlah ia harus senang ataupun sedih. Mungkin juga keduanya. Senang, sedikit, karena Simon tidak bertanding. Itu artinya nggak terlalu rugi juga nggak nonton Indonesia Open. Sedih, karena Indonesia Open itu pertandingan tingkat dunia yang diselenggarakan di Samarinda. SAMARINDA!
            Ia kembali ke halaman sebelumnya. Dan… hei! Ia menemukan salah satu pemain favoritnya yang lain! Dionysius Hayom Rumbaka. Ternyata Hayom juga bermain di Samarinda. Aya melenguh. Ia ingin melihat Hayom bertanding. Sesaat kemudian, ia teringat akan papanya yang melarangnya. Ia butuh refreshing.
***
            “Serius kamu punya tiketnya?” tanya Aya pada Fadhol, temannya sekaligus pacar Fany, sahabatnya. Fadhol mempunyai 4 tiket semi final sampai final Indonesia Open. Dan yang pasti, Aya pasti langsung histeris mendengar itu.
            Sampai di rumah, ia tak hentinya tersenyum. Sampai …
            “Aya, makan siang dulu,” papanya menyuruhnya untuk makan siang. Senyum yang dari tadi mengembang di pipi Aya langsung hilang. Males banget kalo ketemu papanya saat ini. Sudah sejak malam itu, Aya nggak ada bicara ataupun menebar senyum  ke arah papanya. Ia hanya menjawab dengan sebuah suara dengungan. Setelah mengganti baju, Aya langsung mengambil makan.
            “Aya, kamu mau nonton Indonesia Open?” tanya papanya.
            “Nggak perlu dijawab juga tahu jawabannya kan?” tanya Aya sinis.
            Papanya menarik napas panjang, “Ya udah. Kalo emang mau ke sana silakan. Tapi emang kamu mau pergi sama siapa?”
            “Sama Mas Fatur, sama Fadhol, sama Fany,” jawab Aya.
            “Bener?”
            “Iyalah.”
            “Memang mau berangkat jam berapa?” tanya papanya lagi.
            “Jam dua. Mungkin pulangnya jam lima,” jawab Aya mulai melunak.
            “Ya sudah. Kalo mau ke sana, ya ke sana aja. Papa ngizinin,” ucap papa. Senyum Aya mulai mengembang kembali.
            “Tapi inget, Fatur harus ke sini dulu!”
            Aya serta-merta langsung memeluk dan member cipika-cipiki kepada papanya, “Makasih, Pa! Love you sooooooo much!”
***
            “Waaaah, rame banget!”
            Gedung bulu tangkis di GOR Palaran terlihat sangat ramai. Aya pergi bersama Fatur yang sebelumnya sudah diwanti-wanti papa Aya. Ia juga mengajak Fany dan Fadhol. Sampai menonton pertandingan, tak henti-henti Aya teriak-teriak untuk menyemangati Indonesia, atau saat Indonesia kecurian poin. Hati Aya saat ini sangaaaaat bahagia.
            Senang sekali rasanya bisa melihat Taufik Hidayat langsung. Yah, walaupun Aya tidak melihat batang hidung Simon Santoso, biarlah. Ia masih bisa melihat wajah Hayom, pemain favorit barunya.
            “Hayom cakep, ya, Mas?” pujinya di depan Fatur. Fatur langsung cemberut.
            “Masih cakepan aku, kali!” tukasnya. Aya tersenyum kemudian mengecup kilat pipi Fatur.
            “Makasih udah nganter aku ke sini.” Fatur merangkul bahu Aya kemudian mengacak rambutnya.
            “Sama-sama, Sayang,” jawab Fatur.
            Mereka melanjutkan menonton. Tangan Aya dingin karena pertarungan sengit antara Indonesia melawan Cina. Tenaga Cina memang kuat. Smash dari Indonesia pun masih bisa dikembalikan. Aya berpikir, kalo sebenernya para pemain Cina itu sebelumnya telah dicekoki dengan ramuan anti capek atau ramuan semangat terus. Kadang Aya gemas saat Indonesia gagal mencetak angka lagi. Ia sampai meremas tangan Fatur. Fatur langsung teriak kesakitan. Kemudian mereka tertawa.
            “Udah jam lima, Dek,” ucap Fatur saat melihat jam tangan pemberian Aya saat ia berulang tahun.
            “Bentar lagi deh, Mas. Tinggal dikit ini,” ucap Aya.
            “Dek, nggak boleh gitu. Kan janjinya kita pulang jam lima. Yang penting kan udah bisa nonton pertandingannya,” jelas Fatur. Aya terdiam. Konsentrasinya masih tertuju pada lapangan.
            “Tunggu Indonesia dapat satuuuuuuuuuu poin lagi, baru kita pulang. Oke?” tawar Aya. Fatur menyanggupi. 10 detik kemudian, Indonesia berhasil mencetak satu poin.
            “Tuh udah dapat satu poin. Pulang yuk? Kan belum mandi juga,” ajak Fatur sabar. Aya menurut. Akhirnya mereka berempat pulang. Di jalan, nggak henti-hentinya ia mengulas semua pertandingan tadi. Yang pasti Aya senaaaang banget.
***
            Malamnya, Fatur mengajak Aya pergi ke dinner. Tempatnya di daerah Juanda. Malam Minggu seperti ini memang kadang kafe-kafe ataupun tempat makan selalu penuh dengan remaja-remaja bercinta (J). Fatur dan Aya memilih tempat yang agak pojok, di bawah pohon rindang.
            Seorang pelayan membawakan daftar menu kepada Aya dan Fatur. Setelah memilih dua steak tenderloin, satu lemon tea, satu lime squash, dan 2 french fries, mereka mengobrol bersama.
            “Dek, tau nggak aku ngajak kesini buat apa?” tanya Fatur.
            “Buat makan,” jawab Aya santai.
            Fatur tertawa, “Iya. Itu kan alasannya aja. Niatnya kan beda.”
            “Hah? Mas Fatur niat apa emang?” Aya terkejut dan memasang wajah negative thinking.
            Fatur mengeluarkan sebuah kotak kecil dari kantong celananya dan membukanya. Sebuah kalung emas putih bertuliskan F. A.
            “Happy anniversary, Aya,” ucapnya.
            Aya menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Takjub. Kagum. Senang. Kaget.
            “Mas Fatur… aku… lupa kalo …”
            Fatur membelai rambut Aya dengan sayang, “Nggak apa kok. Wajar. Kan kamu mulai kemarin sibuk mikirin Indonesia Open.”
            “Maaf, ya?” Aya merasa tidak enak.
            “Sebagai gantinya, malam ini harus bikin aku seneng, ya?”
            “Iya!” ucap Aya.
            Fatur memasangkan kalung itu di leher Aya. Aya senang sekali. Hari ini hari terindahnya. Siang ini menonton Indonesia Open dan malamnya bersama Fatur merayakan hari jadinya. Aya juga seneng banget mendapatkan pacar seperti Fatur. Dewasa, bisa ngertiin sifat kekanak-kanakannya Aya, dan selalu tahu apa yang Aya inginkan. Lucky Aya.
            Hari ini adalah hari terindah yang pernah Aya lalui. Bersama pacarnya, Fatur.

My Regret

 “Kamu mau jadi pacarku?”
            Begitu yang tertera di layar ponselku. Pengirimnya nggak lain dan nggak bukan adalah Jason, teman sekolahku. Emang kami deket dan sering SMSan. Tapi aku nggak tau kalo dia punya perasaan sedalam itu. Atau  mungkin hanya just kidding aja, ya?
            “Kamu ini aneh-aneh aja! Ganti topik deh___” balasku.
            Selanjutnya ia mengirim SMS yang berbeda… sampai jam 12 malam, acara rutinku dan Jason pun berakhir.
          Esoknya di sekolah, aku menjalani kehidupanku seperti biasa. Tapiii… nggak bakalan ngobrol langsung dengan Jason. Dan kalaupun harus bicara, paling hanya sekedar say hello atau saling mengejek. Hubunganku dengannya memang seperti itu. Nggak ngobrol banyak saat tatap muka tapi beribu-ribu kalimat saat SMSan. Aneh, memang. Tapi itulah kenyataan. Selama kami berdua ngerasa ‘enjoy’, no problem!
          Pernah aku nanya ke dia, “Kenapa sih, kok kita cuma ngomong panjang lebar lewat SMS? Kenapa nggak langsung aja?”. Dia malah jawab“Ngerasa nggak enak?”
            “Ya nggak sih.. aneh aja, kita temen 1 sekolah tapi ngobrol banyak cuma di SMS.”
            “Ya udahlah… nggak usah dipikirin. Lagian kalo ngobrol di depan umum, ntar malah digosipin. Nggak nyaman, ‘kan?”
            “Up to you lach…”
a                    a                    a
            “Dysa!” panggil Jason.
          “Namaku Dysta! Bukan Dysa!” sergahku.
          “Ribet ah~! Makanya punya nama jangan susah-susah.”
          “Kamu aja yang sok ribet! Viandysta Ariantya itu nggak ribet tau! Namamu tuh yang aneh! Tulisannya Jason dibacanya Jesen! Aneeeeh!!!” ejekku. Jason memukul tanganku pelan.
          “Namanya juga orang barat. Nggak tau, ya? Survey membuktikan bahwa Jason Adithyawan Whitley adalah seorang blasteran. Inggris-Indonesia.” bangganya.
          “Lho? Bukannya Afrika pedalaman, ya?”
          “Kamu kale!!!”
          “Tau ah~! Tapi aku Indonesia asli!” ujarku seraya pergi.
          “Eh, kamu mau pulang?” tanyanya—nggak penting banget deh! Aku mengangguk. “Ke rumah?”
          “Ya iyalah! Kamu yang nggak-nggak aja pertanyaannya!”
          “Oooh, kirain ke kandang.”
          “Sudah ah~! Cape ngomong sama orang kayak kamu.”
          “Iya, iya, maaf. Ntar malam, ya?”
          “Ngapain?”
          “Biasanya ngapain?”
          “Tau.”
          “Kok gitu?” Jason heran.
          “Ya… gitu deh…” aku berjalan. Ia heran melihatku. Dalam hati aku tertawa. Mukanya lucu deh waktu lagi heran gitu. Kayak anak bayi!
g                    g                    g
            “Viandysta Ariantya”
            “Apa?” balasku.
            “Bener ‘kan tulisannya?”
            “Iya kali!”
            “Kok kali sih? Sungai aja gih! He..he.. Bercanda. Kamu lagi ngapain?”
            “Masak”
            “Singkat banget sih balasnya? Masih sebel gara-gara tadi siang? Maaf deh! Oh, iya, masak apa?”
            “Nasi goreng kornet plus sosis ala Vian!”
            “Aneh ah~! Ala Dysta aja, lebih keren, kayak nama band.”
            “Itu ‘kan Dygta?”
            “Ya nggak pa-pa. Disamain aja. Besok bikinin aku nasi goreng, ya? Aku pengen makan masakanmu!”
            “Boleh aja sih.”
            “Ya udah besok aku tunggu kamu di depan kelasmu waktu istirahat pertama, ya?”
            “J
            “Kamu mau disuruh PJJ?”
            “Ya nggak lah…. Sapa juga yang mau! Nggak asik! Nggak bisa ketemu langsung dan nggak tau keadaan secara pasti. Kenapa tanya gitu?”
            “Ya nggak pa-pa aja. Oh, iya, besok jangan lupa, ya? Kotak makannya jangan rantang plus jangan warna pink!”
            “Terserah aku dong! Aku yang mau ngasih kok.”
a                    a                    a
            “Vian.” sapa Meta, temanku.
          “Hai.”
          “Eh, katanya Jason mau pindah, ya?”
          “Ha? Masa’ sih?”
          “Iya. Kamu sih kalo ketemu berantem mulu! Jadi nggak tau berita penting deh.”
          Kok Jason nggak ngasih tau aku, ya? Padahal tadi malam SMSan sampai jam 1! Tapi nggak ada nyangkut soal kepindahannya dia.
          “Emang dia pindah ke mana?”
          “Yang aku denger sih ke Inggris. Ikut sama Father-nya. ‘Kan Father-nya orang Inggris.”
          Ha? Inggris? Nggak salah denger? Ke luar negeri? Apa nggak kejauhan tuh? Emang sih aku tahu dia blasteran Inggris, tapi… pindah?
          Waktu istirahatpun tiba. Aku bawa 2 kotak bekal. 1 warna kuning dan yang satunya lagi warna hijau lumut. Yang kuning untuk aku dan yang hijau untuk Jason. Awalnya aku seneng bisa bikinin makanan untuk dia. Tapi nggak tau kenapa, habis denger dia mau pindah ke Inggris aku jadi ngerasa aneh… Aku jadi… Takut untuk kehilangan dia???
          “Dysta!” panggil Jason di depan kelasku. Aku mengambil kotak bekal untuknya.
          “Wah! Beneran dibikinin? Makasih, ya?”
          “Aku denger, kamu mau pindah, ya?” ucapnya dengan nada bergetar. Raut wajahnya langsung berubah.
          “Denger dari mana tuh gossyiip?”
          “Bener atau nggak?”
          “Dys, laper nih. Aku makan, ya?” ucapnya sambil meraih kotak bekal. Aku menepis tangannya sewajar mungkin.
          “Jawab dulu, Jas!”
          “Dys, laper nih…” rengeknya.
          “Kamu boleh makan kalo udah jawab”.
          “Iya, aku mau pindah. Sini makanannya!”.
          “Ke Inggris?”.
          “Duh, kan tadi cuma 1 pertanyaan aja. Jangan ditambahin dong! Cacing dalam perutku konser gede-gedean nih!”.
          Aku memberikannya. Ia memakannya dengan lahap.
          “Di Inggris nani pasti aku kangen deh, nasi gorengmu. Tapi nggak apalah… Yang penting udah pernah ngerasain”.
          “Kenapa nggak bilang tadi malam?”
          “Kamu nggak nanya,” jawabnya ringan.
          “Tapi kan bisa ngasih tau tanpa aku harus nanya,”suaraku makin bergetar.
          “Ya.. Maaf, deh..”.
          “Maaf? Enak banget ngomong maaf.”
          “Kenapa kamu sewot sih?”
          Aku terdiam. Kenapa aku sewot? Rasanya nggak masuk akal juga. Apa aku… ah~ nggak mungkin!
          “Kan aku yang mau pindah”. Jason menyudahi makannya.
          “Makasih, ya?”. Aku mengangguk dan berusaha untuk tersenyum.
          “Kamu kapan berangkat?”
          “Hari Minggu ini. Kamu mau antarin aku ke bandara, ya?” tebaknya.
          “Sapa juga yang mau ngantar! Ke-PD-an!” sergahku sambil meleletkan lidah. Jason meraih tanganku. Eh?
          “Tapi aku mau kamu yang ngantar,” ucapnya dengan nada lain. “Mau, ya?”. Aku terdiam.
          “Tau ah~! Udah sana ke kelasmu! Bentar lagi masukan!” perintahku. Jason menurut. Ngantar dia?
g                    g                    g
“Aku berangkat jam 3 sore…”
            Jam 3 sore… Tepat jam 3 sore aku nggak bakal ngelihat dia untuk waktu yang sangat lama. Apa aku sanggup? Jam dinding menunjukkan pukul 11.40. Dari Samarinda ke Balikpapan butuh waktu ±3 jam. Kalo aku nggak berangkat sekarang, mungkin, tepatnya pasti….
          Uugh! Harus siap-siap! Aku mengganti pakaianku dengan hem putih dan celana jean’s. Memesan taxi untuk mengantarku.
          Duuh, semoga keburu! Kenapa sih dari dulu aku nggak nyadar kalo aku suka sama Jason? Kenapa pas dia mau pergi baru tahu? Vian bodoh!
          Setelah sampai di bandara, aku melihat papan keberangkatan ke luar negeri. Jerman… Spanyol… Belanda… Inggris! Pukul keberangkatan jam 3.15 sore! Sekarang jam 2 lewat 15 menit! 1 jam lagi! Jason di mana, ya? Apa dia udah masuk ruang tunggu? Semoga aja belum! Aku mencoba menghubunginya.
          Shit! Nggak aktif lagi! Duh, Jason, kamu di mana sih? Dengan wajah panik dan dandanan berantakan, aku berkeliling mencari Jason. Napasku tersengal. Aku udah nggak kuat lagi. Aku mencari tempat duduk di sekitar bandara. Tatapanku melihat ke bawah. Mataku panas.
            “Viandysta Ariantya,” panggilnya.
          Aku mengadah ke orang yang berdiri tepat di depanku.
          “Jason?”
          Aku segera memeluknya.
          “Aku terlambat, ya? Maaf, ya aku baru datang,” aku melepaskan pelukanku.
          “Nggak kok. Aku seneng kamu udah datang. Jangan panik gitu dong nyari aku.”
          “Habis aku pikir aku nggak bakalan ketemu kamu lagi.” Jason tersenyum.
          “Dasar bodoh! Kenapa kamu ngomong gitu?”
          “Karena aku sayang sama kamu,” kalimat itu seenaknya aja keluar dari bibirku. Tapi biarlah. Aku nggak mau karena gengsi aku kehilangan Jason. I really love him. Jason sesaat terlihat kaget, lalu tersenyum.
          “Syukur deh. Kalo kita punya perasaan yang sama.”
          “I love you too,” sambungnya.
          Aku lega. Ucapan yang aku inginkan darinya akhirnya keluar juga.
          Jason memberiku sebuah kotak kecil.
          “Simpen sampe aku kembali”
          “CUP!” satu kecupan di bibirku memberikan kesan yang sangat mendalam buatku. Walaupun aku tahu itu adalah kecupan perpisahan. Tapi aku yakin, bahwa Jason menganggapnya kecupan sebagai tanda bukti cintanya untuk aku.
          “See you,” ucapnya seraya pergi meninggalkanku.
          Aku membuka kotak yang diberikannya padaku. Cincin bunga clover berwarna perak bertuliskan ‘ONLY YOU’. Cantik. Cincin ini bakalan aku simpen sampe kamu kembali, Jason. I promise.
          “See you again…” balasku pada Jason yang 5 menit lalu telah mengudara menuju Inggris. Good bye, my prince….